Tidaklah diragukan bahwasanya mengikuti petunjuk al-Qur’an adalah jalan menuju kemuliaan dan keselamatan. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)
Dan al-Qur’an telah menunjukkan kepada kita bahwa berpaling dari perintah dan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sebab datangnya fitnah dan azab. Allah berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi dari perintah/ajaran rasul itu karena mereka akan tertimpa fitnah atau menimpa mereka azab yang pedih.” (an-Nuur : 63)
Oleh sebab itu para ulama mewasiatkan kepada kita untuk selalu berpegang-teguh dengan Sunnah/ajaran nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam al-Hakim, Ibnu Nashr al-Marwazi, dan al-Lalika’i meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa beliau berkata, “Bersikap sederhana di atas Sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.” (lihat dalam Mauqif al-Muslim minal Fitan fi Dhau’il Kitab was Sunnah, hal. 348)
al-Lalika’i meriwayatkan dari Imam az-Zuhri rahimahullah, bahwa beliau mengatakan, “Berpegang-teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.” (lihat Mauqif al-Muslim, hal. 352)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Jalan keselamatan dari fitnah-fitnah ini adalah dengan berpegang-teguh dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (lihat Mauqif al-Muslim minal Fitan, hal. 361)
al-Qur’an pun telah menunjukkan kepada kita bahwa bertakwa kepada Allah menjadi sebab datangnya jalan keluar dari kesulitan yang menimpa. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah berikan untuknya jalan keluar.” (ath-Thalaq : 2)
Karena itulah tetap beribadah kepada Allah dan tunduk kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jalan yang benar dalam menghadapi terpaan fitnah dan kekacauan yang melanda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beribadah di saat-saat berkecamuknya fitnah seperti berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim)
al-Qur’an pun telah menunjukkan kepada kita bahwa taubat dan istighfar merupakan jalan yang benar untuk meraih keberuntungan dan memelihara diri dari gelombang fitnah. Allah berfirman (yang artinya), “Bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kalian beruntung.” (an-Nuur : 31)
Dengan istighfar pula Allah berkenan mencegah turunnya azab. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Allah tidak akan mengazab mereka sementara mereka dalam keadaan selalu beristighfar.” (al-Anfal : 33)
Dan diantara sebab untuk menjaga diri dari kobaran fitnah ini adalah dengan selalu berdzikir kepada Allah. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun akan mengingat kalian.” (al-Baqarah : 152)
Demikian pula ketika berkecamuk fitnah maka tidak ada yang bisa menyelamatkan diri seorang hamba kecuali Rabbnya. Oleh sebab itu tawakal kepada Allah adalah jalan untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah mencukupinya.” (ath-Thalaq : 3)
al-Qur’an pun telah menunjukkan kepada kita bahwa jalan untuk menjaga diri dari luapan fitnah adalah memohon pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat. Allah berfirman (yang artinya), “Dan mintalah bantuan dengan bersabar dan sholat.” (al-Baqarah : 45)
Sabar adalah jalan untuk meraih pertolongan dan bantuan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (al-Anfal : 46)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan jika kalian bersabar dan bertakwa tidak akan membahayakan kalian tipu-daya mereka sedikit pun. Sesungguhnya Allah terhadap apa yang mereka lakukan Maha meliputi dan mengetahui.” (Ali ‘Imran : 120)
Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang sabar. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali ‘Imran : 146)
Memang sabar itu butuh perjuangan dan keteguhan hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang pada manusia suatu masa dimana orang yang bersabar mengikuti ajaran agamanya seperti orang yang memegang bara api.” (HR. Tirmidzi, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah) (lihat Mauqif al-Muslim minal Fitan, hal. 403)
Diantara bentuk kesabaran itu adalah sabar dalam menghadapi penguasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa tidak menyukai suatu perkara pada diri amir/pemimpinnya hendaklah dia bersabar. Sesungguhnya barangsiapa yang keluar dari ketaatan kepada penguasa (memberontak, pent) walaupun hanya sejengkal maka dia akan mati seperti orang yang mati di masa jahiliyah.” (HR. Bukhari)
Diantara bentuk kesabaran itu adalah dengan menjaga lisan agar tidak semakin menyulut fitnah. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah terucap suatu perkataan melainkan ada di sisinya malaikat yang mengawasi dan senantiasa mencatat.” (Qaaf : 18)
Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada para pemilik aqidah dan keimanan dalam sabdanya, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata yang baik, atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Terlebih-lebih lagi pada situasi fitnah, maka bahaya lisan itu bisa menandingi tebasan pedang. Oleh sebab itu para ulama mewasiatkan kepada kita untuk menahan lisan ketika berkobarnya fitnah. Karena dengan lisan akan bisa menyebabkan melayangnya sekian banyak nyawa lebih hebat daripada akibat tebasan sebilah pedang. Dalam sebuah riwayat yang lemah tetapi maknanya sahih, disebutkan bahwa, “Ucapan lisan pada kondisi itu -fitnah- seperti tebasan pedang.” (HR. Ibnu Majah dan dilemahkan al-Albani) (lihat Mauqif al-Muslim, hal. 417)
Kemudian, perlu diketahui pula bahwasanya dalam kondisi fitnah ucapan dan perbuatan harus benar-benar dikendalikan dengan kaidah dan pedoman agama. Tidak setiap ucapan yang tampaknya bagus dimunculkan dan ditampilkan. Demikian pula tidak setiap perbuatan yang tampaknya bagus dengan serta merta dilakukan. Karena dalam kondisi fitnah ucapan dan perbuatan akan melahirkan banyak konsekuensi dan dampak sesudahnya (lihat Mauqif al-Muslim, hal. 426)
Di dalam situasi fitnah pula semestinya seorang muslim lebih peka terhadap keadaan saudaranya. Dia tidak mau melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan dan apalagi huru-hara yang justru merugikan kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dicintai olehnya bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam kondisi fitnah pula orang yang jauh dari gejolak kerusuhan dan kekacauan adalah orang yang menempuh jalan yang benar dan semestinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan terjadi fitnah-fitnah, orang yang duduk ketika itu lebih baik daripada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki lebih baik daripada yang berjalan cepat. Barangsiapa mendekat-dekat kepada fitnah itu pasti ia akan dibinasakan olehnya. Oleh sebab itu barangsiapa mendapati suatu tempat untuk kembali atau berlindung hendaklah dia berlindung di sana.” (HR. Bukhari)
Karena dalam kondisi fitnah nyawa seorang muslim akan menjadi sangat-sangat murah. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memperingatkan kepada umatnya -baik pemerintah maupun rakyatnya-, “Terbunuhnya seorang muslim lebih berat di sisi Allah daripada lenyapnya alam dunia ini.” (HR. Nasa’i, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.” (HR. Ibnu Majah, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Salah satu kaidah penting dalam menghadapi fitnah adalah tidak boleh mengedepankan perasaan, akan tetapi perasaan harus diikat dan dikendalikan oleh aturan-aturan syari’at. Ini bukan berarti seorang tidak boleh menggunakan perasaannya. Akan tetapi hendaklah dia mengendalikan perasaan itu dengan akalnya; dan akalnya -yang sehat- tentu akan mengarahkan perasaan itu untuk tunduk kepada syari’at/ajaran agama yaitu dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah (lihat penjelasan Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili hafizhahullah dalam Syarh Kitab al-Fitan, hal. 192)
Diantara kaidah penting juga adalah tidak boleh tergesa-gesa dan harus selalu berhati-hati, jangan terburu-buru. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sikap kehati-hatian itu dari Allah, sedangkan tergesa-gesa itu dari setan.” (HR. Tirmidzi, dihasankan al-Albani sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili) (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hal. 194)
Diantara pedoman dalam menghadapi fitnah ialah menjauhi kebodohan dan teruslah bersemangat untuk menggali ilmu syar’i. Oleh sebab itu Allah memuji para ulama karena rasa takut mereka kepada Allah yang sangat tinggi. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang paling merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir : 28). Dengan ilmu syar’i inilah seorang muslim akan bisa mengusir godaan dan tipu daya setan -dengan izin dan karunia Allah-. Ilmu syar’i inilah senjata bagi seorang mukmin untuk menjauhi fitnah syubhat dan melumpuhkan fitnah syahwat (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hal. 195)
Ketika terjadi fitnah -berupa perselisihan- hendaknya kita mengikuti ulama besar dan lebih senior -baik dalam hal usia maupun ilmunya- dan mewaspadai pendapat dan pemikiran orang-orang yang masih pemula dalam menimba ilmu -walaupun dianggap sebagai tokoh dan pemuka agama- baik yang masih muda dari sisi usia maupun ilmunya. Seperti dalam masalah mengkritik penguasa di atas mimbar-mimbar; kalau misalnya ada diantara penimba ilmu yang membolehkannya dan mengatakan hal itu termasuk bentuk jihad sementara sebagian ulama besar mengharamkannya, ikutilah para ulama besar. Karena perbuatan semacam itu -mengkritik penguasa di muka publik- dicela oleh Salafus Shalih dan dalil-dalil yang melarangnya pun sangat jelas. Maka mengikuti para ulama besar inilah jalan yang benar (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hal. 196)
Mengkritik penguasa di muka publik -demonstrasi, unjuk rasa, atau aksi damai- ini adalah cara-cara yang menyelisihi jalan salafus shalih dan menyimpang dari bimbingan para ulama besar umat ini. Dan hal itu tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Maka sudah selayaknya bagi para pemuda untuk meniti jalan para ulama.